Sabtu, 31 Oktober 2015

Makna Bulan Muharram

Kajian bulanan ahad pagi 1 November 2015
Dr. H. Abd. Muta'ali, Lc. Tema : Makna bulan Muharram

Kita harus menghargai penanggalan umat Islam yaitu Hijriah dan kita pakai dalam kehidupan sehari-hari.
Penanggalan Hijriah dimulai pada a tahun 682 Masehi, 'Umar bin Al Khattab yang saat itu menjadi khalifah melihat sebuah masalah. Negeri islam yang semakin besar wilayah kekuasaannya menimbulkan berbagai persoalan administrasi. Surat menyurat antar gubernur atau penguasa daerah dengan pusat ternyata belum rapi karena tidak adanya acuan penanggalan. Masing-masing daerah menandai urusan muamalah mereka dengan sistem kalender lokal yang seringkali berbeda antara satu tempat dengan laiinnya.
Penentuan dimulainya kalender Islam bukan pada kelahiran nabi Muhammad atau juga meninggalnya Nabi Muhammad tapi pilihan majelis Khalifah 'Umar tersebut adalah tahun di mana terjadi peristiwa Hijrah. Karena itulah, kalender islam ini biasa dikenal juga sebagai kalender hijriyah. Kalender tersebut dimulai pada 1 Muharram tahun peristiwa Hijrah atau bertepatan dengan 16 Juli 662 M. Peristiwa hijrah Nabi saw. sendiri berlangsung pada bulan Rabi'ul Awal 1 H atau September 622 M
Dalam merayakannya tidak perlu pesta petasan tapi merencanakan agar tahun depan lebih baik dari tahun sebelumnya.

 


Sabtu, 17 Oktober 2015

Kuliah Subuh Materi Haid dan Hubungan Suami Istri 2


Kuliah Subuh, 18 Oktober 2015 +Masjid Baitushshidqi
oleh Ir KH M. Khottot
Al Baqoroh 222 dan 223

Kuliah Subuh Materi Haid dan Hubungan Suami Istri


Kuliah Subuh, 18 Oktober 2015 +Masjid Baitushshidqi
oleh Ir KH M. Khottot
Al Baqoroh 222 dan 223

Haid

Kuliah Subuh, 18 Oktober 2015 +Masjid Baitushshidqi 


وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

Surat Al-Baqarah [2:222]
[Tentang Nifas /haid]

wayas-aluunaka ‘ani almahiidhi qul huwa adzan fai‘taziluu alnnisaa-a fii almahiidhi walaataqrabuuhunna hattaa yathhurna fa-idzaa tathahharna fa/tuuhunna min haytsu amarakumu allaahu inna allaaha yuhibbu alttawwaabiina wayuhibbu almutathahhiriina

Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.

Surat Al-Baqarah [2:223]
[Istrimu ibarat tanah tempatmu bercocok tanam]

نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّىٰ شِئْتُمْ ۖ وَقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ مُلَاقُوهُ ۗ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ

nisaaukum hartsun lakum fa/tuu hartsakum annaa syi/tum waqaddimuu li-anfusikum waittaquu allaaha wai‘lamuu annakum mulaaquuhu wabasysyiri almu/miniina

Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.


Pesan KH. Azhari Baedlawie -Pengawas YPKP-


Kajian Kuliah Subuh

Hadirilah Kajian Kuliah Subuh 8 Oktober 2015

Minggu, 11 Oktober 2015

Jumat, 09 Oktober 2015

Area Masjid Baitushshidqi

 Amphitheater/teater terbuka untuk peragaan manasik haji
 Aula lantai bawah untuk berbagai macam kegiatan
 Mahad Quran -asrama siswa smp/mts dan slta
 Lantai atas Masjid untuk kegiatan ibadah
Plaza masjid yang asri dan nyaman

Idul Adha 1436 H

 ustad rosid dan sukarno takbir menjelang solat id
 

 Ustad karno memberi pengumuman kegiatan idul adha
 jamaah solat id

 KH Amidhan -ketua YPKP- menjadi khotib solat id
 Ustadz Suheli -ketua masjid baitushshidqi- menerima hewan qurban secara simbolis
 menjatuhkan hewan qurban
 Ustadz Nanang menyembelih hewan qurban

 Dinas kesehatan memantau kesehatan daging qurban
 Ibu-ibu memasak untuk makan siang pekerja pemotongan hewan qurban


 Dinas kesehatan memantau kesehatan daging qurban

 Pembagian 2000 paket daging qurban kepada masyarakat

 Ustadz Andri dan Ustad Sofyan membagikan paket hewan Qurban
Ustadz Anatta mengatur antrian agar tertib

“Isterimu adalah bajumu. Dan suami itu adalah bajumu pula" (Al Baqarah 187)

kisah inspiratif
Akhir Suami-Isteri
*****
Al kisah ada suami isteri di usia senja. Tinggal di rumah yg telah dihuni puluhan tahun. Dua anak mereka telah mandiri.
Suami pensiunan, sedang isteri ibu rumah tangga. Mereka lebih memilih tinggap di rumah yg skrg, meski anak2 meminta mereka pindah.
Jadilah mereka berdua yg sudah renta, menghabiskan waktu sisa di rumah yg telah jadi saksi ribuan bahkan jutaan peristiwa.
Suatu saat lepas senja ba'da shalat Isya, di masjid tak jauh dari rumah, isteri tidak temukan sandalnya.
Saat sibuk mencari, suami menghampiri: “Kenapa, Bu?” Isteri menoleh sambil berkata: “Sandal ibu gak ketemu Pak”.
“Ya sudah gak apa2. Pakai sandal ini saja”, kata suami sambil sodorkan sandal yg dipakainya. Walau ragu, isteri kenakan sandal bapak.
Menuruti perkataan suami adalah kebiasaannya. Jarang membantah.
Paham kegundahan isteri, suami genggam lengan isteri.
Pikiran suami berkelebat. Bgmnpun aku bisa melangkah karena ditopang kaki isteriku selama puluhan tahun.
Terimakasih sebanyak, sebesar, dan sedalam apapun takkan pernah setimpal dg apa yg telah dilakukan untukku.
Kaki isterinya yg mungil, selalu berlari kecil membukakan pintu utk-ku saat aku pulang kerja. Juga di tengah2 malam.
Kaki yg telah antar anak2 ke sekolah tanpa kenal lelah. Kaki yg menyusuri berbagai tempat mencari kebutuhanku dan anak2 di rumah.
Sang isteri memandang suaminya sambil tersenyum. Dg tulus mereka kembali ke rumah setelah shalat Isya berjamaah di masjid.
Di usia lanjut, penyakit diabet telah menyerang pandangan mata isteri. Saat kesulitan merapihkan kuku, suami dg lembut membantu.
Suami ambil gunting kuku dari tangan isteri. Jari2 yg sudah keriput digenggam suami. Lalu dipotong kuku isteri.
Setelah selesai, dikecup jemari isteri. Suami lirih berkata: “Terimakasih ya, Bu”. Sembari tersenyum suami memandang wajah isteri.
“Tidak, Pak. Ibu yg seharusnya berterimakasih. Bapak telah membantu memotong kuku Ibu”, tukas isteri tersipu2.
“Terimakasih utk semua pekerjaan luar biasa repotnya, yg tentu tak sanggup aku lakukan”.
“Aku takjub betapa luar biasanya Ibu. Aku tahu semua takkan terbalas sampai kapanpun”, kata suami tulus.
Mata ibu sembab. Dua titik air mata menggayut di mata isteri. “Bapak koq bicara begitu?” Ibu senang atas semuanya, Pak.
Apa yg telah kita lalui bersama adalah sesuatu yg luar biasa. Ibu selalu bersyukur pd keluarga, baik atau buruk. Semua kita hadapi.
Hari Jumat yg cerah, suami siap berangkat ke masjid. Setelah pamit, suami menoleh sekali lagi pd isteri. Wajah Bapak teduh, bening.
Tak ada tanda apapun, seperti biasa. Hingga bbrp saat kemudian, bbrp org mengetuk pintu memberi kabar yg tak pernah diduga.
Inalillahi waina ilahihi rojiun. Bapak, suaminya, siang itu telah menyelesaikan perjalanan di dunia. Menghadap Sang Khalik.
Bapak pulang saat sedang duduk di tahiyat akhir Shalat Jumat. Telunjuknya masih sempurna menunjuk Kiblat.
Subhanallah, sungguh akhir perjalanan hidup yg indah. Demikian gumam para jama’ah setelah menyadari ada jamaah yg wafat saat shalat.
Ibu tersadar, ketika bapak menoleh lagi sebelum beranjak keluar pagar. Terbayang tatapan terakhir Bapak. Senyumnya teduh.
Apakah itu tanda bahwa suaminya berat hati akan meninggalkan isteri untuk selamanya? Ibu mendesah sesunggukkan.
Bbrp hari kemudian, Ibu bermimpi bertemu suaminya. Dg wajah cerah, suami hampiri dirinya. Membelai rambutnya selembut dulu.
“Apa yg Bapak lakukan?” tanya isteri bercampur bingung. “Ibu harus kelihatan cantik. Kita akan lakukan perjalanan jauh”.
“Bapak tak bisa tanpa ibu. Bahkan setelah kehidupan dunia ini berakhir sekalipun. Bapak selalu butuh Ibu”.
“Saat Bapak disuruh memilih pendamping, Bapak bingung. Bapak bilang pendamping saya tertinggal. Saya mohon izin untuk menjemputnya”.
Isteri menangis sebelum akhirnya berkata: “Ibu ihlas Bapak pergi. Tapi Ibu tak bisa bohong kalau Ibu takut sekali sekarang sendirian”.
“Kalau ada kesempatan mendampingi Bapak sekali lagi, apalagi untuk selamanya, tentu tidak akan Ibu sia2kan”.
Tangis ibu berganti dg senyuman. Senyum terakhir yg indah dalam mimpi ibu yg terakhir pula.
Tetangga berdatangan, memandikan jenazah seorang wanita, yg hanya tiga hari setelah ditinggal Bapak.
“Isterimu adalah bajumu. Dan suami itu adalah bajumu pula" (Al Baqarah 187).

Keutamaan Bulan Haram dan MuharramTahun baru Islam


Keutamaan Bulan Haram dan MuharramTahun baru Islam jatuh diantara bulan Haram yaitu bulan Muharram. Bulan Haram ada empat dari bulan Arab hijriyah yaitu Dzulqa’dah (bulan ke-11), Dzulhijjah (bulan ke-12), Muharram (bulan ke-1) dan Rajab (bulan ke-7), sebagaimana Rasulullah Saw bersabda,وعن أبي بكرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم خطب في حَجِّتِه، فقال: ألا إن الزمان قد استدار كهيئته يوم خلق الله السموات والأرض السنة اثنا عشر شهراً منها أربعة حرم، ثلاثة متواليات ذو القعدة وذو الحجة والمحرم ورجب مضر بين جمادى وشعبان (الحديث متفق عليه)Dari Abu Bakar r.a, bahwa Rasulullah berkhotbah ketika beliau melaksanakan haji, beliau berkata: ketahuilah bahwa zaman itu akan terus berputar seperti bentuknya. Hari menciptakan Allah Swt pada langit dan bumi itu dalam setahun sebanyak 12 bulan diantaranya ada 4 bulan Haram, 3 yang berturutan yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram sedangkan bulan Rajab dihimpit antara bulan Jumadi (Jumadil Awwal dan Jumadil Akhir) dan bulan Sya’ban.( HR. Bukhari- Muslim)

KEUTAMAAN DAN KEISTIMEWAAN BULAN MUHARRAM


1.Penamaan Bulan IniKata Muharram secara bahasa, berarti diharamkan. Abu ‘Amr ibn Al ‘Alaa berkata, “Dinamakan bulan Muharram karena peperangan(jihad)diharamkan pada bulan tersebut”(1); jika saja jihad yang disyariatkan lalu hukumnya menjadi terlarang pada bulan tersebut maka hal ini bermakna perbuatan-perbuatan yang secara asal telah dilarang oleh Allah Ta’ala memiliki penekanan pengharaman untuk lebih dihindari secara khusus pada bulan ini. Pada bulan ini Allah melarang umatnya untuk tidak melakukan perbuatan yang dilarang-Nya. Seperti misalnya berperang, seperti yang telah dilakukan oleh orang-orang kuraisy sebelum datangnya agama Islam.2.Beberapa Keutamaan Bulan Muharrama.Bulan Muharram Merupakan Salah Satu Diantara Bulan-Bulan HaramAllah Ta’ala berfirman:إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan)agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanyasebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”(Q.S. at Taubah :36).Pada ayat ini menerangkan kepada kita bahwa setelah penciptaan langit dan bumi Allah menciptakan bulan yang berjumlah 12 bulan yang mana bulan tersebut merupakan bulan tahun Hijriah. Dalam bulan-bulan tersebut terdapat 4 bulan yang paling istimewa diantara bulan yang lainnya, salah satunya adalah bulan Muharram. Pada bulan Muharram Allah mengharamkan umat islam melakukan perbuatan yang dilarang, (membunuh, berperang). Tetapi disana juga menjelaskan bahwa orang muslim harus memerangi orang kafir yang selalu mengajak kepada kehancuran. Yang dilakukan orang kafir, adalah bukan karena ingin merampas harta seperti yang dilakukan sebelum datangnya islam, merebut kekuasaan, balas dendam seperti yang telah dialami ketika umat islam mengusir orang kafir untuk meninggalkan Makkah dan Madinah, tetapi mereka menginginkan agama Islam hancur.Salah seorang ahli tafsir dari kalangan tabi’in yang bernama Qatadah bin Di’amah Sadusi rahimahulloh menyatakan, “Amal sholeh lebih besar pahalanya jika dikerjakan di bulan-bulan haram sebagaimana kezholiman di bulan-bulan haram lebih besar dosanya dibandingkan dengankezholiman yang dikerjakan di bulan-bulan lain meskipun secara umum kezholiman adalah dosayang besar”(2).Disinilah yang menjadi pokok pada bulan Muharram, bahwa diharamkan umat-Nya melakukankan berperang atau membunuh pada bulan-bulan istimewa tersebut, karena apabila melanggarnya, maka dosanya akan dilipat gandakan dari bulan-bulan yang lain. Dengan adanya larang tersebut berarti Allah juga akan memberikan pahala bagi umat-Nya yang mengerjakan alaman seperti yang disunahkan.Dalam hadis yang diriwayatkan dari sahabat AbuBakrah radhiyallohu anhu, Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam menjelaskan keempat bulan haram yang dimaksud :إِنَّ الزَّمَانَ قَدْ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلَاثٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِيبَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ“Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimanabentuknya semula di waktu Allah menciptakan langit dan bumi. Setahun itu ada dua belas bulandiantaranyaterdapat empat bulan yang dihormati: 3 bulan berturut-turut; Dzulqa’dah, DzulhijjahdanMuharramserta satubulan yang terpisahyaituRajab Mudhar, yang terdapat diantara bulanJumadaAkhirohdan Sya’ban.”[HR. Bukhari(3197)dan Muslim(1679)]Para ulama bersepakat bahwa keempat bulan haram tersebut memiliki keutamaan dibandingkan dengan bulan-bulan yang lain selain Ramadhan, namun demikian mereka berbeda pendapat, bulan apakah yang paling afdhal diantara keempat bulan haram yang ada ?Imam Hasan Al Bashri rahimahulloh dan beberapa ulama lainnya berkata, “SesungguhnyaAllah telah memulai waktu yang setahun denganbulan haram (Muharram) lalu menutupnya juga dengan bulan haram (Dzulhijjah) dan tidak ada bulan dalam setahun setelah bulan Ramadhan yang lebih agung di sisi Allah melebihi bulan Muharram”(3).b.BulanMuharramdisifatkan sebagai Bulan AllahKedua belas bulan yang ada adalah makhluk ciptaan Allah, akan tetapi bulan Muharram meraih keistimewaan khusus karena hanya bulan inilah yang disebut sebagai “syahrullah” (Bulan Allah). Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda :أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ“Puasayangpaling utama setelah Ramadhan adalah puasa di bulanAllah (yaitu) Muharram. Sedangkan shalat yang paling utama setelah shalat fardhu adalah shalat malam”.[H.R. Muslim(11630)dari sahabat Abu Hurairah radhiyallohu anhu]Hadits ini mengindikasikan adanya keutamaan khusus yang dimiliki bulan Muharram karena disandarkan kepada lafzhul Jalalah (lafazh Allah). Para Ulama telah menerangkan bahwa ketika suatu makhluk disandarkan padalafzhul Jalalahmaka itu mengindikasikasikantasyrif(pemuliaan) terhadap makhluk tersebut, sebagaimana istilahbaitullah(rumah Allah) bagi mesjid atau lebih khusus Ka’bah dannaqatullah(unta Allah) istilah bagi unta nabi Sholeh ‘alaihis salam dan lain sebagainya.Al Hafizh Abul Fadhl Al ‘Iraqy rahimahulloh menjelaskan, “Apa hikmah dari penamaan Muharram sebagai syahrulloh (bulan Allah) sementara seluruh bulan milik Allah ? Mungkin dijawab bahwa hal itu dikarenakan bulan Muharram termasuk diantara bulan-bulan haram yang Allah diharamkan padanya berperang, disamping itu bulan Muharram adalah bulan perdana dalam setahun maka disandarkan padanya lafzhul Jalalah (lafazh Allah) sebagai bentuk pengkhususan baginya dan tidak ada bulan lain yang Nabi Muhammad shallallohu alaihi wasallam sandarkan kepadanya lafzhul Jalalah melainkan bulan Muharram”(4)As Suyuthi mengatakan: Dinamakan syahrullah – sementara bulan yang lain tak mendapat gelar ini – karena nama bulan ini “Al Muharram” nama nama islami. Berbeda dgn bulan-bulan lainnya. Nama-nama bulan lainnya sudah ada di zaman jahiliyah. Sementara dulu, orang jahiliyah menyebut bulan Muharram ini dgn nama : ShafarAwwal. Kemudian ketika islam datanng, Allah ganti nama bulan ini dgn Al Muharram, sehingga nama bulan ini Allah sandarkan kepada dirinya (Syahrullah).(5)Bulan ini juga sering dinamakan: Syahrullah Al Asham (Bulan Allah yang Sunyi). Dinamakan demikian, karena sangat terhormatnya bulan ini(6). karena itu, tak boleh ada sedikitpun riak & konflik di bulan ini.3.AmalanYang Dianjurkan di Bulan MuharramSebagaimana telah disebutkan di atas dari perkataan Qatadah rahimahulloh bahwa amalan sholeh dilipatgandakan pahalanya di bulan-bulanharam, dengan demikian secara umum segala jenis kebaikan dianjurkan untuk diperbanyak dan ditingkatkan kualitasnya di bulan Muharram. Adapun ibadah yang dianjurkan secara khusus pada bulan ini adalah memperbanyak puasa sunnah sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallohu ‘anhu, beliau berkata Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda,أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ“Puasa yang palingutamasetelah Ramadhan adalah puasa di bulan Allah (yaitu) Muharram dan shalat yang paling utama setelah puasa wajib adalah sholat lail” [HR. Muslim(11630) ]Mulla Al Qari’ menyebutkan bahwa hadits di atas sebagai dalil anjuran berpuasa di seluruh hari bulan Muharram. Namun ada satu masalah yangkadang ditanyakan berkaitan dengan hadits ini yaitu, ‘Bagaimana memadukan antara hadits ini dengan hadits yang menyebutkan bahwa Nabi shallallohu alaihi wasallam memperbanyak puasa di bulan Sya’ban yang menjadi bulannya Allah, bukan di bulan Muharram? Imam Nawawi rahimahullah telah menjawab pertanyaan ini, beliau mengatakan boleh jadi Rasulullah shallallohu alaihi wasallam belum mengetahui keutamaan puasa Muharram kecuali di akhir hayat beliau atau mungkin ada saja beberapa udzur yang menghalangi beliau untuk memperbanyak berpuasa di bulan Muharram seperti beliau mengadakan safar atau sakit(7).Kemudian anjuran berpuasa di bulan Muharram ini lebih dikhususkan dan ditekankan hukumnya pada hari yang dikenal dengan istilahYaumul ‘Asyuro,yaitu pada tanggal sepuluh bulan Muharram (‘asyuro). ‘Asyuro berasal dari kata ‘Asyarah yang berarti sepuluh. Pada hari ‘Asyuro ini, Rasulullah shallahu alaihi wasallam mengajarkan kepada umatnya untuk melaksanakan satu bentuk ibadah dan ketundukan kepada Allah Ta’ala yaitu ibadah puasa, yang kita kenal dengan puasa Asyuro.4.Hadits-Hadits Disyariatkannya Puasa ‘AsyuroAdapun hadis-hadis yang menjadi dasar ibadah puasa tersebut banyak, kami akan sebutkan diantaranya dengan pengklasifikasian sebagai berikut:Kaum Yahudi juga berpuasa di hari Asyuro bahkan menjadikannya sebagai Ied (hari raya)عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ فَرَأَى الْيَهُودَ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ مَا هَذَا قَالُوا هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ هَذَا يَوْمٌنَجَّى اللَّهُ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ فَصَامَهُ مُوسَى قَالَ فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْكُمْ فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِIbnu Abbas radhiyallohu anhuma berkata : KetikaRasulullah shallallohu alaihi wasallam. tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘ Asyura, maka Beliau bertanya : “Hari apa ini?. Mereka menjawab, “Ini adalah hari istimewa, karena pada hari ini Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuhnya, Karena itu Nabi Musa berpuasa pada hari ini. Rasulullahshallallohu alaihi wasallampun bersabda, “Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian“. Maka beliau berpuasa dan memerintahkan shahabatnya untuk berpuasa di tahun yang akan datang.[H.R. Bukhari (1865) dan Muslim(1910) ]Hadis lain menjelaskan:عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ يَوْمًا تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَتَتَّخِذُهُ عِيدًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُومُوهُ أَنْتُمْDari Abu Musa radhiyallohu anhu berkata, “Hari ‘Asyuro adalah hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan mereka menjadikannya sebagai hari raya, maka Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda (kepada ummatnya), “Berpuasalah kalian (pada hari itu)”[HR. Bukhari (1866) dan Muslim(1912), lafal hadits ini menurut periwayatan imam Muslim)Kaum Quraiys di zaman Jahiliyah juga berpuasa Asyuro dan puasa ini diwajibkan atas kaum muslimin sebelum kewajiban puasa Ramadhanعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُهُ فَلَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ صَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ تَرَكَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ . متفق عليه.Dari Aisyah radhiyallohu anha berkata, Kaum Qurays pada masa Jahiliyyah juga berpuasa di hari ‘Asyuro dan Rasulullah shallallohu alaihi wasallam juga berpuasa pada hari itu, ketika beliau telah tiba di Medinah maka beliau tetap mengerjakannya dan memerintahkan ummatnya untuk berpuasa. Setelah puasa Ramadhan telah diwajibkan beliau pun meninggalkan (kewajiban) puasa ‘Asyuro, seraya bersabda, “Barangsiapa yang ingin berpuasa maka silakan tetap berpuasa dan barangsiapa yang tidak ingin berpuasa maka tidak mengapa”[ HR. Bukhari (1863) dan Muslim(1897) ]عن عَبْد اللَّهِ بْن عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ أَهْلَ الْجَاهِلِيَّةِ كَانُوا يَصُومُونَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَامَهُ وَالْمُسْلِمُونَ قَبْلَ أَنْ يُفْتَرَضَ رَمَضَانُ فَلَمَّا افْتُرِضَ رَمَضَانُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ عَاشُورَاءَ يَوْمٌ مِنْ أَيَّامِ اللَّهِ فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ )رواه مسلم(Dari Abdullah bin Umar radhiyallohu anhuma bahwa kaum Jahiliyah dulu berpuasa Asyuro danRasulullah shallallohu alaihi wasallam serta kaum muslimin juga berpuasa sebelum diwajibkan puasa Ramadhan, Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya hari ‘Asyuro termasuk hari-hari Allah, barangsiapa ingin maka berpuasalah dan siapa yang ingin meninggalkan maka boleh”[ HR. Muslim(1901) ]Perhatian Rasulullah shallallohu alaihi wa sallamdan para sahabat ridwanullohi alaihim ajmain yang begitu besar terhadap puasa ‘Asyuroعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَرَّى صِيَامَ يَوْمٍ فَضَّلَهُ عَلَى غَيْرِهِ إِلَّا هَذَا الْيَوْمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَهَذَا الشَّهْرَ يَعْنِي شَهْرَ رَمَضَانَ“Aku tidak pernah melihat Rasulullahshallallohu alaihi wasallam, berupaya keras untukpuasapada suatu hari melebihi yang lainnya kecuali pada hari ini, yaitu hari ‘Asyura dan bulanini yaituRamadhan.”[ H.R. Bukhari (1867) dan Muslim(1914) ]عَنْ الرُّبَيِّعِ بِنْتِ مُعَوِّذِ بْنِ عَفْرَاءَ قَالَتْ أَرْسَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَدَاةَ عَاشُورَاءَ إِلَى قُرَى الْأَنْصَارِ الَّتِي حَوْلَ الْمَدِينَةِ مَنْ كَانَ أَصْبَحَ صَائِمًا فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ وَمَنْ كَانَ أَصْبَحَ مُفْطِرًا فَلْيُتِمَّ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ فَكُنَّا بَعْدَ ذَلِكَ نَصُومُهُ وَنُصَوِّمُ صِبْيَانَنَا الصِّغَارَ مِنْهُمْ إِنْ شَاءَ اللَّهُ وَنَذْهَبُ إِلَى الْمَسْجِدِ فَنَجْعَلُ لَهُمْ اللُّعْبَةَ مِنْ الْعِهْنِ فَإِذَا بَكَى أَحَدُهُمْ عَلَى الطَّعَامِ أَعْطَيْنَاهَا إِيَّاهُ عِنْدَ الْإِفْطَارِDari Rubai’ bintu Mu’awwidz bin ‘Afra’ radhiyallohu ‘anha berkata, Nabi Muhammad shallallohu alaihi wasallam di pagi hari Asyuro mengutus ke perkampungan kaum Anshar yang berada di sekitar Medinah (pesan), “Barangsiapayang tidak berpuasa hari itu hendaknya menyempurnakan sisa waktu di hari itu dengan berpuasa dan barangsiapa yang berpuasa maka hendaknya melanjutkan puasanya”. Rubai’ berkata, “Maka sejak itu kami berpuasa pada hari‘Asyuro dan menyuruh anak-anak kami berpuasa dan kami buatkan untuk mereka permainan yang terbuat dari kapas lalu jika salah seorang dari mereka menangis karena ingin makan maka kami berikan kepadanya permainan tersebut hingga masuk waktu berbuka puasa”[ HR. Bukhari (1960) dan Muslim (1136), redaksi haditsini menurut periwayatan Imam Muslim ]5.KeutamaanPuasa Asyuroعَنْ أَبِي قَتَادَةَ رضي الله عنه أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ إِنِّي أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُDari Abu Qatadah radhiyallohu anhu bahwa Nabi Muhammad shallallohu alaihi wasallam bersabda, “Puasa hari ‘Asyuro aku berharap kepada Allah akan menghapuskan dosa tahun lalu” [HR. Tirmidzi (753), Ibnu Majah (1738) dan Ahmad(22024). Hadits semakna dengan ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shohih beliau (1162) ]a.Bagi yang ingin berpuasa ‘Asyuro hendaknya berpuasa juga sehari sebelumnyaIbnu Abbas radhiyallohu ‘anhuma berkata : Ketika Rasulullah shallallohu alaihi wasallam berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan kaum muslimin berpuasa, mereka (para shahabat) menyampaikan, “Ya Rasulullah ini adalah hari yang diagungkan Yahudi dan Nasrani”. Maka Rasulullah shallallohu alaihi wasallam pun bersabda:فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّىاللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ“Jika tahun depaninsya Allah (kita bertemukembalidengan bulan Muharram), kita akan berpuasajugapada hari kesembilan (tanggal sembilan).“Akan tetapi belum tiba Muharram tahun depan hingga Rasulullah shallallohu alaihi wasallam wafat di tahun tersebut[ HR. Muslim (1134) ]عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ صُومُوا التَّاسِعَ وَالْعَاشِرَ وَخَالِفُوا الْيَهُودَIbnu Abbas radhiyallohu anhuma beliau berkata, “Berpuasalah pada tanggal sembilan dan sepuluh Muharram, berbedalah dengan orang Yahudi”[Diriwayatkan dengan sanad yang shohih oleh Baihaqi di As Sunan Al Kubro (8665) dan Ath Thobari di Tahdzib Al Aatsaar(1110)]b.Hukum Berpuasa Sehari Sesudah ‘Asyuro (tanggal 11 Muharram)Imam Ibnu Qoyyim dalam kitab Zaadul Ma’aad setelah merinci dan menjelaskan riwayat-riwayatseputar puasa ‘Asyuro, beliau menyimpulkan : Ada tiga tingkatan berpuasa ‘Asyuro:Urutan pertama; dan ini yang paling sempurna adalah puasa tiga hari, yaitu puasa tanggal sepuluh ditambah sehari sebelum dan sesudahnya (9,10,11).Urutan kedua;puasa tanggal 9 dan 10. Inilah yang disebutkan dalam banyak hadits .Urutan ketiga, puasa tanggal 10 saja(8). Kesimpulan Ibnul Qayyim di atas didasari dengan sebuah hadits dari Ibnu Abbas radhiyallohu anhuma, Rasulullah shallallohu alaihi wasallam. bersabda :صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَخَالِفُوا فِيهِ الْيَهُودَ صُومُوا قَبْلَهُ يَوْمًا أَوْ بَعْدَهُ يَوْمًا“Puasalah pada hari Asyuro, dan berbedalah dengan Yahudi dalam masalah ini, berpuasalah sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya.“[HR. Imam Ahmad(2047), Ibnu Khuzaimah(2095) dan Baihaqi (8667)]Namun hadits ini sanadnya lemah, Asy Syaikh Al Albani rahimahulloh menyatakan, “Hadits ini sanadnya lemah karena salah seorang perowinya yang bernama Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Laila jelek hafalannya, selain itu riwayatnya menyelisihi riwayat ‘Atho bin Abi Rabah dan selainnya yang juga meriwayatkan dengan sanad yang shohih bahwaini adalah perkataan Ibnu Abbas radhiyallohu anhuma sebagaimana yang disebutkan oleh Thahawi dan Baihaqi(9).Dalam pandangan yang lain, hadist yang lemah boleh dilaksanakan, hal ini dikarenakan untuk memperkuat keimanan dan ketakwaan umat-Nya. Bereda dengan hadist yang menjelaskan tentang syari’at. Maka hadist yang lemah tidak diperbolehkan untuk dijadikan sebagai landasan atau dasar.Namun demikian puasa sebanyak tiga hari (9,10,dan 11 Muharram) dikuatkan oleh para ulama dengan dua alasan:1) Sebagai kehati-hatian, yaitu kemungkinan penetapan awal bulannya tidak tepat, maka puasa tanggal sebelasnya akan dapat memastikan bahwa seseorang mendapatkan puasa Tasu’a (tanggal 9) dan Asyuro (tanggal 10).2) Dimasukkan dalam puasa tiga hari pertengahan bulan (Ayyamul bidh).Adapun puasa tanggal 9 dan 10, pensyariatannya dinyatakan dalam hadis yang shahih, dimana Rasulullah shallallohu alaihi wasallam pada akhir hidup beliau sudah merencanakan untuk puasa pada tanggal 9, hanya saja beliau wafat sebelum melaksanakannya. Beliau juga telah memerintahkan para shahabat untuk berpuasa pada tanggal 9 dan tanggal 10 agar berbeda dengan ibadah orang-orang Yahudi.Sedangkan puasa pada tanggal sepuluh saja; sebagian ulama memakruhkannya, meskipun sebagian ulama yang lain memandang tidak mengapa jika hanya berpuasa ‘Asyuro (tanggal 10) saja, wallohu a’lam. Secara umum, hadits-hadis yang terkait dengan puasa Muharram menunjukkan anjuran Rasulullah shallallohu alaihi wasallam untuk melakukan puasa, sekalipun hukumnya tidak wajib tetapi sunnah muakkadah (sangat dianjurkan), dan tentunya kita sepatutnya berusaha untuk menghidupkan sunnah yang telah banyak dilalaikan oleh kaum muslimin.

Minggu, 04 Oktober 2015

Kisah Kesabaran Nabi Ismail (Sejarah Hari Idul Adha)



Kisah Kesabaran Nabi Ismail (Sejarah Hari Idul Adha)
Pada suatu hari, Nabi Ibrahim AS menyembelih kurban fisabilillah berupa 1.000 ekor domba, 300 ekor sapi, dan 100 ekor unta. Banyak orang mengaguminya, bahkan para malaikat pun terkagum-kagum atas kurbannya.

“Kurban sejumlah itu bagiku belum apa-apa. Demi Allah! Seandainya aku memiliki anak lelaki, pasti akan aku sembelih karena Allah dan aku kurbankan kepada-Nya,” kata Nabi Ibrahim AS, sebagai ungkapan karena Sarah, istri Nabi Ibrahim belum juga mengandung.

Kemudian Sarah menyarankan Ibrahim agar menikahi Hajar, budaknya yang negro, yang diperoleh dari Mesir. Ketika berada di daerah Baitul Maqdis, beliau berdoa kepada Allah SWT agar dikaruniai seorang anak, dan doa beliau dikabulkan Allah SWT. Ada yang mengatakan saat itu usia Ibrahim mencapai 99 tahun. Dan karena demikian lamanya maka anak itu diberi nama Isma'il, artinya "Allah telah mendengar". Sebagai ungkapan kegembiraan karena akhirnya memiliki putra, seolah Ibrahim berseru: "Allah mendengar doaku".

Ketika usia Ismail menginjak kira-kira 7 tahun (ada pula yang berpendapat 13 tahun), pada malam tarwiyah, hari ke-8 di bulan Dzulhijjah, Nabi Ibrahim AS bermimpi ada seruan, “Hai Ibrahim! Penuhilah nazarmu (janjimu).”

Pagi harinya, beliau pun berpikir dan merenungkan arti mimpinya semalam. Apakah mimpi itu dari Allah SWT atau dari setan? Dari sinilah kemudian tanggal 8 Dzulhijah disebut sebagai hari tarwiyah (artinya, berpikir/merenung).

Pada malam ke-9 di bulan Dzulhijjah, beliau bermimpi sama dengan sebelumnya. Pagi harinya, beliau tahu dengan yakin mimpinya itu berasal dari Allah SWT. Dari sinilah hari ke-9 Dzulhijjah disebut dengan hari ‘Arafah (artinya mengetahui), dan bertepatan pula waktu itu beliau sedang berada di tanah Arafah.

Malam berikutnya lagi, beliau mimpi lagi dengan mimpi yang serupa. Maka, keesokan harinya, beliau bertekad untuk melaksanakan nazarnya (janjinya) itu. Karena itulah, hari itu disebut denga hari menyembelih kurban (yaumun nahr). Dalam riwayat lain dijelaskan, ketika Nabi Ibrahim AS bermimpi untuk yang pertama kalinya, maka beliau memilih domba-domba gemuk, sejumlah 100 ekor untuk disembelih sebagai kurban. Tiba-tiba api datang menyantapnya. Beliau mengira bahwa perintah dalam mimpi sudah terpenuhi. Untuk mimpi yang kedua kalinya, beliau memilih unta-unta gemuk sejumlah 100 ekor untuk disembelih sebagai kurban. Tiba-tiba api datang menyantapnya, dan beliau mengira perintah dalam mimpinya itu telah terpenuhi.

Pada mimpi untuk ketiga kalinya, seolah-olah ada yang menyeru, “Sesungguhnya Allah SWT memerintahkanmu agar menyembelih putramu, Ismail.” Beliau terbangun seketika, langsung memeluk Ismail dan menangis hingga waktu Shubuh tiba. Untuk melaksanakan perintah Allah SWT tersebut, beliau menemui istrinya terlebih dahulu, Hajar (ibu Ismail). Beliau berkata, “Dandanilah putramu dengan pakaian yang paling bagus, sebab ia akan kuajak untuk bertamu kepada Allah.” Hajar pun segera mendandani Ismail dengan pakaian paling bagus serta meminyaki dan menyisir rambutnya.

Kemudian beliau bersama putranya berangkat menuju ke suatu lembah di daerah Mina dengan membawa tali dan sebilah pedang. Pada saat itu, Iblis terkutuk sangat luar biasa sibuknya dan belum pernah sesibuk itu. Mondar-mandir ke sana ke mari. Ismail yang melihatnya segera mendekati ayahnya.

“Hai Ibrahim! Tidakkah kau perhatikan anakmu yang tampan dan lucu itu?” seru Iblis.

“Benar, namun aku diperintahkan untuk itu (menyembelihnya),” jawab Nabi Ibrahim AS.

Setelah gagal membujuk ayahnya, Iblsi pun datang menemui ibunya, Hajar. “Mengapa kau hanya duduk-duduk tenang saja, padahal suamimu membawa anakmu untuk disembelih?” goda Iblis.

“Kau jangan berdusta padaku, mana mungkin seorang ayah membunuh anaknya?” jawab Hajar.

“Mengapa ia membawa tali dan sebilah pedang, kalau bukan untuk menyembelih putranya?” rayu Iblis lagi.

“Untuk apa seorang ayah membunuh anaknya?” jawab Hajar balik bertanya.

“Ia menyangka bahwa Allah memerintahkannya untuk itu”, goda Iblis meyakinkannya.

“Seorang Nabi tidak akan ditugasi untuk berbuat kebatilan. Seandainya itu benar, nyawaku sendiri pun siap dikorbankan demi tugasnya yang mulia itu, apalagi hanya dengan mengurbankan nyawa anaku, hal itu belum berarti apa-apa!” jawab Hajar dengan mantap.

Iblis gagal untuk kedua kalinya, namun ia tetap berusaha untuk menggagalkan upaya penyembelihan Ismail itu. Maka, ia pun menghampiri Ismail seraya membujuknya, “Hai Isma’il! Mengapa kau hanya bermain-main dan bersenang-senang saja, padahal ayahmu mengajakmu ketempat ini hanya untk menyembelihmu. Lihat, ia membawa tali dan sebilah pedang,”

“Kau dusta, memangnya kenapa ayah harus menyembelih diriku?” jawab Ismail dengan heran. “Ayahmu menyangka bahwa Allah memerintahkannya untuk itu” kata Iblis meyakinkannya.

“Demi perintah Allah! Aku siap mendengar, patuh, dan melaksanakan dengan sepenuh jiwa ragaku,” jawab Ismail dengan mantap.

Ketika Iblis hendak merayu dan menggodanya dengan kata-kata lain, mendadak Ismail memungut sejumlah kerikil ditanah, dan langsung melemparkannya ke arah Iblis hingga butalah matanya sebelah kiri. Maka, Iblis pun pergi dengan tangan hampa. Dari sinilah kemudian dikenal dengan kewajiban untuk melempar kerikil (jumrah) dalam ritual ibadah haji.

Sesampainya di Mina, Nabi Ibrahim AS berterus terang kepada putranya, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu?…” (QS. Ash-Shâffât, [37]: 102).

“Ia (Ismail) menjawab, ‘Hai bapakku! Kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insya Allah! Kamu mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar” (QS. Ash-Shâffât, [37]: 102).

Mendengar jawaban putranya, legalah Nabi Ibrahim AS dan langsung ber-tahmid (mengucapkan Alhamdulillâh) sebanyak-banyaknya.

Untuk melaksanakan tugas ayahnya itu Ismail berpesan kepada ayahnya, “Wahai ayahanda! Ikatlah tanganku agar aku tidak bergerak-gerak sehingga merepotkan. Telungkupkanlah wajahku agar tidak terlihat oleh ayah, sehingga tidak timbul rasa iba. Singsingkanlah lengan baju ayah agar tidak terkena percikan darah sedikitpun sehingga bisa mengurangi pahalaku, dan jika ibu melihatnya tentu akan turut berduka.”

“Tajamkanlah pedang dan goreskan segera dileherku ini agar lebih mudah dan cepat proses mautnya. Lalu bawalah pulang bajuku dan serahkan kepada agar ibu agar menjadi kenangan baginya, serta sampaikan pula salamku kepadanya dengan berkata, ‘Wahai ibu! Bersabarlah dalam melaksanakan perintah Allah.’ Terakhir, janganlah ayah mengajak anak-anak lain ke rumah ibu sehingga ibu sehingga semakin menambah belasungkawa padaku, dan ketika ayah melihat anak lain yang sebaya denganku, janganlah dipandang seksama sehingga menimbulka rasa sedih di hati ayah,” sambung Isma'il.

Setelah mendengar pesan-pesan putranya itu, Nabi Ibrahim AS menjawab, “Sebaik-baik kawan dalam melaksanakan perintah Allah SWT adalah kau, wahai putraku tercinta!”

Kemudian Nabi Ibrahim as menggoreskan pedangnya sekuat tenaga ke bagian leher putranya yang telah diikat tangan dan kakinya, namun beliau tak mampu menggoresnya.

Ismail berkata, “Wahai ayahanda! Lepaskan tali pengikat tangan dan kakiku ini agar aku tidak dinilai terpaksa dalam menjalankan perintah-Nya. Goreskan lagi ke leherku agar para malaikat megetahui bahwa diriku taat kepada Allah SWT dalam menjalan perintah semata-mata karena-Nya.”

Nabi Ibrahim as melepaskan ikatan tangan dan kaki putranya, lalu beliau hadapkan wajah anaknya ke bumi dan langsung menggoreskan pedangnya ke leher putranya dengan sekuat tenaganya, namun beliau masih juga tak mampu melakukannya karena pedangnya selalu terpental. Tak puas dengan kemampuanya, beliau menghujamkan pedangnya kearah sebuah batu, dan batu itu pun terbelah menjadi dua bagian. “Hai pedang! Kau dapat membelah batu, tapi mengapa kau tak mampu menembus daging?” gerutu beliau.

Atas izin Allah SWT, pedang menjawab, “Hai Ibrahim! Kau menghendaki untuk menyembelih, sedangkan Allah penguasa semesta alam berfirman, ‘jangan disembelih’. Jika begitu, kenapa aku harus menentang perintah Allah?”

Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata (bagimu). Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (QS. Ash-Shâffât, [37]: 106)

Menurut satu riwayat, bahwa Ismail diganti dengan seekor domba kibas yang dulu pernah dikurbankan oleh Habil dan selama itu domba itu hidup di surga. Malaikat Jibril datang membawa domba kibas itu dan ia masih sempat melihat Nabi Ibrahim AS menggoreskan pedangnya ke leher putranya. Dan pada saat itu juga semesta alam beserta seluruh isinya ber-takbir (Allâhu Akbar) mengagungkan kebesaran Allah SWT atas kesabaran kedua umat-Nya dalam menjalankan perintahnya. Melihat itu, malaikai Jibril terkagum-kagum lantas mengagungkan asma Allah, “Allâhu Akbar, Allâhu Akbar, Allâhu Akbar”. Nabi Ibrahim AS menyahut, “Lâ Ilâha Illallâhu wallâhu Akbar”. Ismail mengikutinya, “Allâhu Akbar wa lillâhil hamd”. Kemudian bacaan-bacaan tersebut dibaca pada setiap hari raya kurban (Idul Adha).


















Kisah Nabi Ibrahim Menyembelih Nabi Ismail
Diceritakan Nabi Ibrahim merupakan salah satu nabi yang sangat wira’i, taqwa, dan cinta kepada Allah. Pada suatu ketika Nabi Ibrahim berqurban 1000 kambing, 300 sapi, dan 100 unta budunah ke jalan Allah sehingga membuat orang-orang dan para malaikat terheran-heran. Beliau berkata “Setiap apapun yang membuat aku dekat dengan Allah, maka tidak ada sesuatu yang berharga bagiku. Demi Allah, jika aku mempunyai seorang anak niscaya aku akan menyembelihnya ke jalan Allah. Jika itu bisa membuatku dekat kepada Allah”. Waktu pun berlalu dan hari silih berganti.  Beliau pun lupa akan ucapan yang telah dikatakan. Ketika beliau berada di Baitul Muqoddas, beliau memohon kepada Allah agar dikaruniai seorang anak. Kemudian Allah pun mengabulkan permohonan beliau. Beliau dikaruniai seorang putra yang tampan dan sholeh bernama Ismail dari istri beliau Hajar.
Allah berfirman dalam Alqur’an pada Surat Ash-Shoffat penggalan Ayat 102:
فلما بلغ معه لسعىا
Maka tatkala anak itu (Ismail) sampai pada umur sanggup berusaha bersama-sama Ibrahim
Ketika Nabi Ismail berusia 9 tahun (ada yang mengatakan 13 tahun), pada waktu itu bertepatan pada malam tanggal 8 Dzul hijjah, Nabi Ibrahim tidur dan bermimpi. Dalam mimpi tersebut, seseorang berkata kepada beliau “Wahai Ibrahim, tepatilah janjimu !”. Setelah terbangun pada pagi hari, berliau berpikir dan mengangan-angan, dan berkata pada dirinya “Apakah mimpi itu dari Allah ataukah dari syetan ?”. Kemudian hari itu dinamakan yaumut tarwiyyah atau hari tarwiyyah[1], karena tarwiyyah dalam bahasa arab artinya berpikir mengingat masa lalu.
Pada malam harinya beliau tidur dan bermimpi seperti mimpi yang pertama. Setelah terbangun pada keesokan hari, beliau mengetahui bahwa mimpi tersebut berasal dari Allah. Dan pada hari itu (tanggal 9 Dzul Hijjah) dinamakan yaumu arofah atau hari arofah[2]. Pada malam harinya beliau pun bermimpi dengan mimpi yang sama seperti sebelumnya. Setelah terbangun pada keesokan hari, beliau baru menyadari bahwa mimpi tersebut adalah perintah untuk menyembelih putra beliau. Kemudian pada hari itu (tanggal 10 Dzul Hijjah) dinamakan yaumun nahr atau hari nahr[3].
Ketika Nabi Ibrahim akan mengajak putranya untuk disembelih, Beliau berkata kepada istri beliau Hajar “Pakaikanlah anakmu dengan pakaian yang bagus, karena sesungguhnya aku akan pergi bersamanya untuk bertamu !”. Hajar pun memberi Nabi Ismail dengan pakaian yang bagus, memberinya wangi-wangian, dan menyisir rambutnya. Kemudian Nabi Ibrahim pergi bersama Nabi Ismail dengan membawa sebuah pisau besar dan tali ke arah tanah Mina.
Pada hari itu Iblis lebih sibuk dan lebih gugup, datang dan kembali. Ia menemui, menggoda mereka,dan berusaha agar penyembelihan tersebut gagal. Iblis menggoda Nabi Ibrahim, pada waktu itu Nabi Ismail sedang berlari-lari di depan beliau “Apakah kamu tidak melihat tegaknya anakmu ketika ia berdiri, ia begitu tampan, dan lembut tingkah lakunya !!!”. Nabi Ibrahim berkata “Iya, tetapi aku diperintah untuk menyembelihnya !!!”. Iblis pun tak kuasa menggoda Nabi Ibrahim meski dengan seribu godaan. Kemudian ia pergi menemui Hajar, dan berkata “Wahai Hajar, bagaimana bisa kamu hanya duduk disini sedangkan Ibrahim pergi bersama anaknya untuk menyembelihnya !!!”. Hajar berkata “Kamu jangan dusta kepadaku, mana ada seorang ayah yang tega menyembelih putranya ?”. Iblis menjawab “Lalu untuk apa Ibrahim membawa pisau besar dan tali !!!”. Hajar bertanya “Untuk alasan apa ia menyembelihnya ?”. Iblis menjawab “Ia menyangkan bahwa tuhannya telah memerintahkannya untuk meyembelih anaknya !!!”. Hajar berkata “Seorang nabi tidak diperintahkan untuk kebatilan dan aku akan selalu percaya padanya. Nyawaku sebagai tebusan atas perkara itu, maka bagaimana dengan anakku (tentu ia pun demikian) !!!”. Dengan beribu-ribu rayuan dan godaan, tetapi Iblis tak kuasa menggoda Hajar. Kemudian ia pergi menemui Nabi Ismail dan menggodanya “Kamu sangat senang bermain-main, tetapi ayahmu membawa pisau besar dan tali, ia akan menyembelihmu !!!”. Nabi Ismail berkata “Kamu jangan berbohong kepadaku, ayahku tidak akan menyembelihku !”. Iblis berkata “Ia menyangka bahwa tuhannya telah memerintahkannya untuk menyembelihmu !!!” Nabi Ismail berkata “Aku akan selalu tunduk dan taat terhadap perintah tuhanku !!!”. Saat Iblis akan melontarkan perkataan lain untuk meggodanya, Nabi Ismail mengambil batu-batu dan melemparkannya kepada Iblis sehingga mengenai mata kiri Iblis. Kemudian Iblis pun pergi dengan kecewa dan putus asa. Nah, pada tempat Allah mewajibkan melempar jumrah bagi orang yang melaksanakan haji dengan niat melempar batu atau kerikil ke arah syetan dan mengikuti apa yang telah dilakukan Nabi Ismail.
Setelah sampai di tanah Mina, Nabi Ibrahim berkata kepada putranya, sesuai yang termaktub dalam Al-Qur’an Surat Ash-Shoffat penggalan ayat 102 :
يا بني إني ارى في المنام أني اذبحك فانظر ماذا ترى
Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka pikirkanlah apa pendapatmu.
Maksudnya adalah Nabi Ibrahim meminta pendapat Nabi Ismail, bagaimana pendapat Nabi Ismail menyikapi mimpi tersebut. Mimpi seorang nabi adalah haq dan benar, apakah Nabi Ismail bisa bersabar atau ia meminta maaf sebelum dilaksanakan penyembelihan. Ini merupakan ujian yang diberikan dari Nabi Ibrahim kepada Nabi Ismail, apakah Nabi Ismail bisa taat dan tunduk ataukan sebaliknya. Nabi Ismail pun menjawab sesuai yang termaktub dalam Al-Qur’an Surat Ash-Shoffat penggalan ayat 102 :
يا أبت افعل ما تؤمر ستجدني ان شاء الله من الصابرين
Wahai ayahku, lakukan apa yang diperintahkan kepadamu, Insya’allah engkau akan menemuiku termasuk orang-orang yang sabar
Ketika Nabi Ibrahim mendengarnya, beliau menyadari bahwa Allah telah mengabulkan do’anya, sesuai yang termaktub dalam Surat Ash-Shoffat ayat 100 :
رب هب لي من الصالحين
Ya Tuhanku, anugrahkan kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang sholeh
Kemudian beliau memuji Allah. Kemudian Nabi Ismail berkata “Wahai ayahku, aku berwasiat kepadamu beberapa perkara. Ikatlah tanganku dengan kencang agar aku tidak goyah karena itu akan menyakitkanku. Letakkan wajahku di atas bumi agar engkau tidak memandangku sehingga engkau merasa kasihan. Tutuplah pakaianmu dariku agar darahku tidak mengotorinya sehingga ibuku tidak melihatnya, karena itu akan membuatnya sedih. Tajamkanlah bibir pisau besarmu dan percepatlah dalam menyembelih leherku agar terasa lebih ringan karena sesungguhnya kematian itu sangat menyakitkan. Berikanlah pakaianku kepada ibuku sebagai pengingat diriku. Sampaikan salam dariku dan katakana padanya “bersabarlah atas perintah Allah”. Jangan engkau menceritakan kepada ibuku bagaimana engkau menyembelih dan mengikat tanganku. Jangan engkau membawa bocah kepada ibuku agar ia tidak semakin bersedih. Jika engkau melihat seorang bocah sepertiku, maka jangan engkau terus memandanginya sampai engkau bersedih.” Nabi Ibrahim berkata “Baiklah, semoga pertolongan selalu menyertaimu atas perintah Allah, wahai anakku !”.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an Surat Ash-Shoffat ayat 103 :
فلما اسلما وتله للجبين
Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipisnya
Nabi Ibrahim membaringkan Nabi Ismail untuk disembelih seperti layaknya kambing sembelihan. Dan kejadian itu terjadi di atas batu besar di Tanah Mina. Nabi Ibrahim pun meletakkan pisau besar besarnya di leher putra beliau. Kemudian beliau menyembelih leher putra beliau dengan kuat, akan tetapi atas kehendak Allah pisau tersebut tak mampu memotong leher Nabi Ismail bahkan menggoresnya pun tidak. Allah membuka tutup mata dari semua malaikat langit dan bumi, sehingga mereka mengetahui kejadian tersebut. Kemudian mereka berlutut dan bersujud kepada Allah. Kemudian Allah berkata “Lihatlah kalian semua kepada hambaku bagaimana ia menebaskan pisau besar pada leher anaknya karena mengharap ridloku, sedangkan kalian berkata ketika aku berkata :
اني جاعل في الأرض خليفة : اتجعل فيها من يفسد فيها ويسفك الدماء ونحن نسبح بحمدك ونقدس لك
[Allah berfirman] Sesungguhnya aku akan menjadikan seorang kholifah di atas bumi. [Malaikat berkata] Mengapa Engkau akan menjadikan di bumi orang yang akan berbuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami selalu bertasbih dengan memuji-Mu dan mensucikan-Mu.
            Nabi Ismail berkata “Wahai ayahku, engkau telah melemahkan kekuatanmu karena cinta kepadaku sehingga engkau tidak kuasa untuk menyembelihku”. Kemudian Nabi Ibrahim menebaskan pisau besarnya pada batu dan batu tersebut terbelah menjadi dua. Nabi Ibrahim berkata terheran-heran “Pisau ini bisa memotong batu tetapi tidak bisa memotong daging”. Namun atas kuasa Allah, pisau tersebut berkata “Wahai Ibrahim, kamu mengatakan potonglah, tetapi tuhan semesta alam berkata jangan potong. Maka bagaimana aku melaksanakan perintahmu yang berlawanan dengan perintah tuhanmu”. Pisau tersebut tidak dapat memotong leher Nabi Ismail karena Allah telah memerintahkan untuk tidak memotongnya walaupun Nabi Ibrahim berkata potonglah.
            Allah berfirman dalam Surat Ash-Shoffat ayat 104-106 :
وناديناه ان ياابراهيم, قد صدقت الرؤيا انا كذلك نجزي المحسنين, ان هذا لهو البلاء المبين
Dan Kami panggil dia, "Wahai Ibrahim” (104) Sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpimu itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik (105) Sesungguhnya ini benar-benar ujian yang nyata (106)
Semua kejadian tersebut merupakan ujian yang telah diberikan Allah kepada Nabi Ibrahim. Kemudian Allah berfirman dalam Surat Ash-Shoffat ayat 107 :
وفديناه بذبح عظيم
Dan Kami tebus (ganti) anak itu dengan seekor sembelihan yang besar
Malaikat Jibril pun datang dengan membawa seekor domba yang besar. Domba tersebut merupakan domba qurban Habil putra Nabi Adam yang masih hidup dalam surge. Kemudian domba tersebut dijadikan tebusan atau ganti Nabi Ismail. Malaikat Jibril yang datang dan melihat Nabi Ibrahim berusaha memotong leher putra beliau. Dengan rasa ta’dhim (hormat) dan terheran atas Nabi Ibrahim, Malaikat Jibril berkata :
الله اكبر الله اكبر الله اكبر
Allah Maha Besar Allah Maha Besar Allah Maha Besar
Kemudian Nabi Ibrahim menjawab :
لااله الا الله والله اكبر
Tidak ada tuhan (yang hak untuk disembah) kecuali Allah, dan Allah Maha Besar
Nabi Ismail pun mengikuti :
الله اكبر ولله الحمد
Allah Maha Besar dan segala puji hanya bagi Allah
            Allah telah mejadikan kebaikan atas kalimat-kalimat tersebut sehingga kalimat-kalimat tersebut senantiasa berkumandang dalam celah-celah golongan orang-orang muslim dikala tanggal 10 Dzul hijjah yaitu hari raya idul adha. Imam Hanafi berkata bahwa jika seseorang bernadzar (berjanji pada diri sendiri) untuk menyembelih anaknya, maka hendaklah ia menggantinya dengan seekor kambing atau domba.

Kisah ini diambil dari Kitab Durrotun Nashihin karangan Syekh Ustman bin Hasan bin Ahmad Asy-Syakiri Al-Khoubawi, Hal. 179-181