Kisah Kesabaran Nabi Ismail (Sejarah Hari Idul Adha)
Pada suatu hari, Nabi Ibrahim AS menyembelih kurban
fisabilillah berupa 1.000 ekor domba, 300 ekor sapi, dan 100 ekor unta. Banyak
orang mengaguminya, bahkan para malaikat pun terkagum-kagum atas kurbannya.
“Kurban sejumlah itu
bagiku belum apa-apa. Demi Allah! Seandainya aku memiliki anak lelaki, pasti
akan aku sembelih karena Allah dan aku kurbankan kepada-Nya,” kata Nabi Ibrahim
AS, sebagai ungkapan karena Sarah, istri Nabi Ibrahim
belum juga mengandung.
Kemudian Sarah
menyarankan Ibrahim agar menikahi Hajar, budaknya yang negro,
yang diperoleh dari Mesir. Ketika berada di daerah Baitul Maqdis, beliau berdoa
kepada Allah SWT agar dikaruniai seorang anak, dan doa beliau dikabulkan Allah
SWT. Ada yang mengatakan saat itu usia Ibrahim mencapai 99 tahun. Dan karena
demikian lamanya maka anak itu diberi nama Isma'il, artinya "Allah
telah mendengar". Sebagai ungkapan kegembiraan karena akhirnya memiliki
putra, seolah Ibrahim berseru: "Allah mendengar doaku".
Ketika usia Ismail
menginjak kira-kira 7 tahun (ada pula yang berpendapat 13 tahun), pada malam
tarwiyah, hari ke-8 di bulan Dzulhijjah, Nabi Ibrahim AS bermimpi ada seruan,
“Hai Ibrahim! Penuhilah nazarmu (janjimu).”
Pagi harinya, beliau
pun berpikir dan merenungkan arti mimpinya semalam. Apakah mimpi itu dari Allah
SWT atau dari setan? Dari sinilah kemudian tanggal 8 Dzulhijah disebut sebagai
hari tarwiyah (artinya, berpikir/merenung).
Pada malam ke-9 di
bulan Dzulhijjah, beliau bermimpi sama dengan sebelumnya. Pagi harinya, beliau
tahu dengan yakin mimpinya itu berasal dari Allah SWT. Dari sinilah hari ke-9
Dzulhijjah disebut dengan hari ‘Arafah (artinya mengetahui), dan
bertepatan pula waktu itu beliau sedang berada di tanah Arafah.
Malam berikutnya lagi,
beliau mimpi lagi dengan mimpi yang serupa. Maka, keesokan harinya, beliau
bertekad untuk melaksanakan nazarnya (janjinya) itu. Karena itulah, hari itu
disebut denga hari menyembelih kurban (yaumun nahr). Dalam riwayat lain
dijelaskan, ketika Nabi Ibrahim AS bermimpi untuk yang pertama kalinya, maka
beliau memilih domba-domba gemuk, sejumlah 100 ekor untuk disembelih sebagai
kurban. Tiba-tiba api datang menyantapnya. Beliau mengira bahwa perintah dalam
mimpi sudah terpenuhi. Untuk mimpi yang kedua kalinya, beliau memilih unta-unta
gemuk sejumlah 100 ekor untuk disembelih sebagai kurban. Tiba-tiba api datang
menyantapnya, dan beliau mengira perintah dalam mimpinya itu telah terpenuhi.
Pada mimpi untuk ketiga
kalinya, seolah-olah ada yang menyeru, “Sesungguhnya Allah SWT memerintahkanmu
agar menyembelih putramu, Ismail.” Beliau terbangun seketika, langsung memeluk
Ismail dan menangis hingga waktu Shubuh tiba. Untuk melaksanakan perintah Allah
SWT tersebut, beliau menemui istrinya terlebih dahulu, Hajar (ibu Ismail).
Beliau berkata, “Dandanilah putramu dengan pakaian yang paling bagus, sebab ia
akan kuajak untuk bertamu kepada Allah.” Hajar pun segera mendandani Ismail
dengan pakaian paling bagus serta meminyaki dan menyisir rambutnya.
Kemudian beliau bersama
putranya berangkat menuju ke suatu lembah di daerah Mina dengan membawa tali
dan sebilah pedang. Pada saat itu, Iblis terkutuk sangat luar biasa sibuknya
dan belum pernah sesibuk itu. Mondar-mandir ke sana ke mari. Ismail yang
melihatnya segera mendekati ayahnya.
“Hai Ibrahim! Tidakkah
kau perhatikan anakmu yang tampan dan lucu itu?” seru Iblis.
“Benar, namun aku
diperintahkan untuk itu (menyembelihnya),” jawab Nabi Ibrahim AS.
Setelah gagal membujuk
ayahnya, Iblsi pun datang menemui ibunya, Hajar. “Mengapa kau hanya duduk-duduk
tenang saja, padahal suamimu membawa anakmu untuk disembelih?” goda Iblis.
“Kau jangan berdusta
padaku, mana mungkin seorang ayah membunuh anaknya?” jawab Hajar.
“Mengapa ia membawa
tali dan sebilah pedang, kalau bukan untuk menyembelih putranya?” rayu Iblis
lagi.
“Untuk apa seorang ayah
membunuh anaknya?” jawab Hajar balik bertanya.
“Ia menyangka bahwa
Allah memerintahkannya untuk itu”, goda Iblis meyakinkannya.
“Seorang Nabi tidak
akan ditugasi untuk berbuat kebatilan. Seandainya itu benar, nyawaku sendiri
pun siap dikorbankan demi tugasnya yang mulia itu, apalagi hanya dengan
mengurbankan nyawa anaku, hal itu belum berarti apa-apa!” jawab Hajar dengan
mantap.
Iblis gagal untuk kedua
kalinya, namun ia tetap berusaha untuk menggagalkan upaya penyembelihan Ismail
itu. Maka, ia pun menghampiri Ismail seraya membujuknya, “Hai Isma’il! Mengapa
kau hanya bermain-main dan bersenang-senang saja, padahal ayahmu mengajakmu
ketempat ini hanya untk menyembelihmu. Lihat, ia membawa tali dan sebilah
pedang,”
“Kau dusta, memangnya
kenapa ayah harus menyembelih diriku?” jawab Ismail dengan heran. “Ayahmu
menyangka bahwa Allah memerintahkannya untuk itu” kata Iblis meyakinkannya.
“Demi perintah Allah!
Aku siap mendengar, patuh, dan melaksanakan dengan sepenuh jiwa ragaku,” jawab
Ismail dengan mantap.
Ketika Iblis hendak
merayu dan menggodanya dengan kata-kata lain, mendadak Ismail memungut sejumlah
kerikil ditanah, dan langsung melemparkannya ke arah Iblis hingga butalah
matanya sebelah kiri. Maka, Iblis pun pergi dengan tangan hampa. Dari sinilah
kemudian dikenal dengan kewajiban untuk melempar kerikil (jumrah) dalam
ritual ibadah haji.
Sesampainya di Mina,
Nabi Ibrahim AS berterus terang kepada putranya, “Wahai anakku! Sesungguhnya
aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa
pendapatmu?…” (QS. Ash-Shâffât, [37]: 102).
“Ia (Ismail) menjawab,
‘Hai bapakku! Kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insya Allah! Kamu
mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar” (QS. Ash-Shâffât, [37]: 102).
Mendengar jawaban
putranya, legalah Nabi Ibrahim AS dan langsung ber-tahmid (mengucapkan
Alhamdulillâh) sebanyak-banyaknya.
Untuk melaksanakan
tugas ayahnya itu Ismail berpesan kepada ayahnya, “Wahai ayahanda! Ikatlah
tanganku agar aku tidak bergerak-gerak sehingga merepotkan. Telungkupkanlah
wajahku agar tidak terlihat oleh ayah, sehingga tidak timbul rasa iba.
Singsingkanlah lengan baju ayah agar tidak terkena percikan darah sedikitpun
sehingga bisa mengurangi pahalaku, dan jika ibu melihatnya tentu akan turut
berduka.”
“Tajamkanlah pedang dan
goreskan segera dileherku ini agar lebih mudah dan cepat proses mautnya. Lalu
bawalah pulang bajuku dan serahkan kepada agar ibu agar menjadi kenangan
baginya, serta sampaikan pula salamku kepadanya dengan berkata, ‘Wahai ibu!
Bersabarlah dalam melaksanakan perintah Allah.’ Terakhir, janganlah ayah
mengajak anak-anak lain ke rumah ibu sehingga ibu sehingga semakin menambah
belasungkawa padaku, dan ketika ayah melihat anak lain yang sebaya denganku,
janganlah dipandang seksama sehingga menimbulka rasa sedih di hati ayah,”
sambung Isma'il.
Setelah mendengar
pesan-pesan putranya itu, Nabi Ibrahim AS menjawab, “Sebaik-baik kawan dalam
melaksanakan perintah Allah SWT adalah kau, wahai putraku tercinta!”
Kemudian Nabi Ibrahim
as menggoreskan pedangnya sekuat tenaga ke bagian leher putranya yang telah
diikat tangan dan kakinya, namun beliau tak mampu menggoresnya.
Ismail berkata, “Wahai
ayahanda! Lepaskan tali pengikat tangan dan kakiku ini agar aku tidak dinilai
terpaksa dalam menjalankan perintah-Nya. Goreskan lagi ke leherku agar para
malaikat megetahui bahwa diriku taat kepada Allah SWT dalam menjalan perintah
semata-mata karena-Nya.”
Nabi Ibrahim as
melepaskan ikatan tangan dan kaki putranya, lalu beliau hadapkan wajah anaknya
ke bumi dan langsung menggoreskan pedangnya ke leher putranya dengan sekuat
tenaganya, namun beliau masih juga tak mampu melakukannya karena pedangnya
selalu terpental. Tak puas dengan kemampuanya, beliau menghujamkan pedangnya
kearah sebuah batu, dan batu itu pun terbelah menjadi dua bagian. “Hai pedang!
Kau dapat membelah batu, tapi mengapa kau tak mampu menembus daging?” gerutu
beliau.
Atas izin Allah SWT,
pedang menjawab, “Hai Ibrahim! Kau menghendaki untuk menyembelih, sedangkan
Allah penguasa semesta alam berfirman, ‘jangan disembelih’. Jika begitu, kenapa
aku harus menentang perintah Allah?”
Allah SWT berfirman,
“Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata (bagimu). Dan Kami tebus
anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (QS. Ash-Shâffât, [37]: 106)
Menurut satu riwayat,
bahwa Ismail diganti dengan seekor domba kibas yang dulu pernah dikurbankan
oleh Habil dan selama itu domba itu hidup di surga. Malaikat Jibril datang
membawa domba kibas itu dan ia masih sempat melihat Nabi Ibrahim AS
menggoreskan pedangnya ke leher putranya. Dan pada saat itu juga semesta alam
beserta seluruh isinya ber-takbir (Allâhu Akbar) mengagungkan kebesaran Allah
SWT atas kesabaran kedua umat-Nya dalam menjalankan perintahnya. Melihat itu,
malaikai Jibril terkagum-kagum lantas mengagungkan asma Allah, “Allâhu Akbar,
Allâhu Akbar, Allâhu Akbar”. Nabi Ibrahim AS menyahut, “Lâ Ilâha Illallâhu
wallâhu Akbar”. Ismail mengikutinya, “Allâhu Akbar wa lillâhil hamd”. Kemudian
bacaan-bacaan tersebut dibaca pada setiap hari raya kurban (Idul Adha).
Kisah Nabi Ibrahim Menyembelih Nabi Ismail
Diceritakan
Nabi Ibrahim merupakan salah satu nabi yang sangat wira’i, taqwa, dan cinta
kepada Allah. Pada suatu ketika Nabi Ibrahim berqurban 1000 kambing, 300 sapi,
dan 100 unta budunah ke jalan Allah sehingga membuat orang-orang dan para
malaikat terheran-heran. Beliau berkata “Setiap apapun yang membuat aku
dekat dengan Allah, maka tidak ada sesuatu yang berharga bagiku. Demi Allah,
jika aku mempunyai seorang anak niscaya aku akan menyembelihnya ke jalan Allah.
Jika itu bisa membuatku dekat kepada Allah”. Waktu pun berlalu dan hari
silih berganti. Beliau pun lupa akan ucapan yang telah dikatakan. Ketika
beliau berada di Baitul Muqoddas, beliau memohon kepada Allah agar dikaruniai
seorang anak. Kemudian Allah pun mengabulkan permohonan beliau. Beliau
dikaruniai seorang putra yang tampan dan sholeh bernama Ismail dari istri
beliau Hajar.
Allah berfirman dalam Alqur’an pada
Surat Ash-Shoffat penggalan Ayat 102:
فلما بلغ معه لسعىا
Maka tatkala
anak itu (Ismail) sampai pada umur sanggup berusaha bersama-sama Ibrahim
Ketika Nabi Ismail berusia 9 tahun (ada yang
mengatakan 13 tahun), pada waktu itu bertepatan pada malam tanggal 8 Dzul
hijjah, Nabi Ibrahim tidur dan bermimpi. Dalam mimpi tersebut, seseorang
berkata kepada beliau “Wahai Ibrahim, tepatilah janjimu !”. Setelah
terbangun pada pagi hari, berliau berpikir dan mengangan-angan, dan berkata
pada dirinya “Apakah mimpi itu dari Allah ataukah dari syetan ?”.
Kemudian hari itu dinamakan yaumut tarwiyyah atau hari tarwiyyah[1],
karena tarwiyyah dalam bahasa arab artinya berpikir mengingat masa lalu.
Pada malam harinya beliau tidur dan
bermimpi seperti mimpi yang pertama. Setelah terbangun pada keesokan hari,
beliau mengetahui bahwa mimpi tersebut berasal dari Allah. Dan pada hari itu
(tanggal 9 Dzul Hijjah) dinamakan yaumu arofah atau hari arofah[2].
Pada malam harinya beliau pun bermimpi dengan mimpi yang sama seperti
sebelumnya. Setelah terbangun pada keesokan hari, beliau baru menyadari bahwa
mimpi tersebut adalah perintah untuk menyembelih putra beliau. Kemudian pada
hari itu (tanggal 10 Dzul Hijjah) dinamakan yaumun nahr atau hari nahr[3].
Ketika Nabi Ibrahim akan mengajak
putranya untuk disembelih, Beliau berkata kepada istri beliau Hajar “Pakaikanlah
anakmu dengan pakaian yang bagus, karena sesungguhnya aku akan pergi bersamanya
untuk bertamu !”. Hajar pun memberi Nabi Ismail dengan pakaian yang bagus,
memberinya wangi-wangian, dan menyisir rambutnya. Kemudian Nabi Ibrahim pergi
bersama Nabi Ismail dengan membawa sebuah pisau besar dan tali ke arah tanah
Mina.
Pada hari itu Iblis lebih sibuk dan
lebih gugup, datang dan kembali. Ia menemui, menggoda mereka,dan berusaha agar
penyembelihan tersebut gagal. Iblis menggoda Nabi Ibrahim, pada waktu itu Nabi
Ismail sedang berlari-lari di depan beliau “Apakah kamu tidak melihat
tegaknya anakmu ketika ia berdiri, ia begitu tampan, dan lembut tingkah lakunya
!!!”. Nabi Ibrahim berkata “Iya, tetapi aku diperintah untuk
menyembelihnya !!!”. Iblis pun tak kuasa menggoda Nabi Ibrahim meski dengan
seribu godaan. Kemudian ia pergi menemui Hajar, dan berkata “Wahai Hajar,
bagaimana bisa kamu hanya duduk disini sedangkan Ibrahim pergi bersama anaknya
untuk menyembelihnya !!!”. Hajar berkata “Kamu jangan dusta kepadaku,
mana ada seorang ayah yang tega menyembelih putranya ?”. Iblis menjawab “Lalu
untuk apa Ibrahim membawa pisau besar dan tali !!!”. Hajar bertanya “Untuk
alasan apa ia menyembelihnya ?”. Iblis menjawab “Ia menyangkan bahwa
tuhannya telah memerintahkannya untuk meyembelih anaknya !!!”. Hajar
berkata “Seorang nabi tidak diperintahkan untuk kebatilan dan aku akan
selalu percaya padanya. Nyawaku sebagai tebusan atas perkara itu, maka
bagaimana dengan anakku (tentu ia pun demikian) !!!”. Dengan beribu-ribu
rayuan dan godaan, tetapi Iblis tak kuasa menggoda Hajar. Kemudian ia pergi
menemui Nabi Ismail dan menggodanya “Kamu sangat senang bermain-main, tetapi
ayahmu membawa pisau besar dan tali, ia akan menyembelihmu !!!”. Nabi
Ismail berkata “Kamu jangan berbohong kepadaku, ayahku tidak akan
menyembelihku !”. Iblis berkata “Ia menyangka bahwa tuhannya telah memerintahkannya
untuk menyembelihmu !!!” Nabi Ismail berkata “Aku akan selalu tunduk dan
taat terhadap perintah tuhanku !!!”. Saat Iblis akan melontarkan perkataan
lain untuk meggodanya, Nabi Ismail mengambil batu-batu dan melemparkannya
kepada Iblis sehingga mengenai mata kiri Iblis. Kemudian Iblis pun pergi dengan
kecewa dan putus asa. Nah, pada tempat Allah mewajibkan melempar jumrah bagi
orang yang melaksanakan haji dengan niat melempar batu atau kerikil ke arah
syetan dan mengikuti apa yang telah dilakukan Nabi Ismail.
Setelah sampai di tanah Mina, Nabi
Ibrahim berkata kepada putranya, sesuai yang termaktub dalam Al-Qur’an Surat
Ash-Shoffat penggalan ayat 102 :
يا بني إني
ارى في المنام أني اذبحك فانظر ماذا ترى
Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi
bahwa aku menyembelihmu, maka pikirkanlah apa pendapatmu.
Maksudnya adalah Nabi Ibrahim meminta pendapat Nabi
Ismail, bagaimana pendapat Nabi Ismail menyikapi mimpi tersebut. Mimpi seorang
nabi adalah haq dan benar, apakah Nabi Ismail bisa bersabar atau ia meminta
maaf sebelum dilaksanakan penyembelihan. Ini merupakan ujian yang diberikan
dari Nabi Ibrahim kepada Nabi Ismail, apakah Nabi Ismail bisa taat dan tunduk
ataukan sebaliknya. Nabi Ismail pun menjawab sesuai yang termaktub dalam Al-Qur’an
Surat Ash-Shoffat penggalan ayat 102 :
يا أبت افعل ما تؤمر ستجدني ان شاء
الله من الصابرين
Wahai ayahku,
lakukan apa yang diperintahkan kepadamu, Insya’allah engkau akan menemuiku
termasuk orang-orang yang sabar
Ketika Nabi Ibrahim mendengarnya, beliau menyadari
bahwa Allah telah mengabulkan do’anya, sesuai yang termaktub dalam Surat
Ash-Shoffat ayat 100 :
رب هب لي من الصالحين
Ya Tuhanku,
anugrahkan kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang sholeh
Kemudian beliau memuji Allah. Kemudian Nabi Ismail
berkata “Wahai ayahku, aku berwasiat kepadamu beberapa perkara. Ikatlah
tanganku dengan kencang agar aku tidak goyah karena itu akan menyakitkanku.
Letakkan wajahku di atas bumi agar engkau tidak memandangku sehingga engkau
merasa kasihan. Tutuplah pakaianmu dariku agar darahku tidak mengotorinya
sehingga ibuku tidak melihatnya, karena itu akan membuatnya sedih. Tajamkanlah
bibir pisau besarmu dan percepatlah dalam menyembelih leherku agar terasa lebih
ringan karena sesungguhnya kematian itu sangat menyakitkan. Berikanlah
pakaianku kepada ibuku sebagai pengingat diriku. Sampaikan salam dariku dan
katakana padanya “bersabarlah atas perintah Allah”. Jangan engkau menceritakan
kepada ibuku bagaimana engkau menyembelih dan mengikat tanganku. Jangan engkau membawa
bocah kepada ibuku agar ia tidak semakin bersedih. Jika engkau melihat seorang
bocah sepertiku, maka jangan engkau terus memandanginya sampai engkau bersedih.”
Nabi Ibrahim berkata “Baiklah, semoga pertolongan selalu menyertaimu atas
perintah Allah, wahai anakku !”.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an
Surat Ash-Shoffat ayat 103 :
فلما اسلما وتله للجبين
Tatkala
keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipisnya
Nabi Ibrahim
membaringkan Nabi Ismail untuk disembelih seperti layaknya kambing sembelihan.
Dan kejadian itu terjadi di atas batu besar di Tanah Mina. Nabi Ibrahim pun
meletakkan pisau besar besarnya di leher putra beliau. Kemudian beliau
menyembelih leher putra beliau dengan kuat, akan tetapi atas kehendak Allah
pisau tersebut tak mampu memotong leher Nabi Ismail bahkan menggoresnya pun
tidak. Allah membuka tutup mata dari semua malaikat langit dan bumi, sehingga
mereka mengetahui kejadian tersebut. Kemudian mereka berlutut dan bersujud
kepada Allah. Kemudian Allah berkata “Lihatlah kalian semua kepada hambaku
bagaimana ia menebaskan pisau besar pada leher anaknya karena mengharap
ridloku, sedangkan kalian berkata ketika aku berkata :
اني جاعل في الأرض خليفة : اتجعل فيها
من يفسد فيها ويسفك الدماء ونحن نسبح بحمدك ونقدس لك
[Allah
berfirman] Sesungguhnya aku akan menjadikan seorang kholifah di atas bumi.
[Malaikat berkata] Mengapa Engkau akan menjadikan di bumi orang yang akan berbuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, padahal kami selalu bertasbih dengan memuji-Mu
dan mensucikan-Mu.
Nabi Ismail berkata “Wahai ayahku, engkau telah melemahkan kekuatanmu karena
cinta kepadaku sehingga engkau tidak kuasa untuk menyembelihku”. Kemudian
Nabi Ibrahim menebaskan pisau besarnya pada batu dan batu tersebut terbelah
menjadi dua. Nabi Ibrahim berkata terheran-heran “Pisau ini bisa memotong
batu tetapi tidak bisa memotong daging”. Namun atas kuasa Allah, pisau
tersebut berkata “Wahai Ibrahim, kamu mengatakan potonglah, tetapi tuhan
semesta alam berkata jangan potong. Maka bagaimana aku melaksanakan perintahmu
yang berlawanan dengan perintah tuhanmu”. Pisau tersebut tidak dapat memotong
leher Nabi Ismail karena Allah telah memerintahkan untuk tidak memotongnya
walaupun Nabi Ibrahim berkata potonglah.
Allah berfirman dalam Surat Ash-Shoffat ayat 104-106 :
وناديناه ان ياابراهيم, قد صدقت
الرؤيا انا كذلك نجزي المحسنين, ان هذا لهو البلاء المبين
Dan Kami
panggil dia, "Wahai Ibrahim” (104) Sesungguhnya kamu telah membenarkan
mimpimu itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang
yang berbuat baik (105) Sesungguhnya ini benar-benar ujian yang nyata (106)
Semua
kejadian tersebut merupakan ujian yang telah diberikan Allah kepada Nabi
Ibrahim. Kemudian Allah berfirman dalam Surat Ash-Shoffat ayat 107 :
وفديناه بذبح عظيم
Dan Kami tebus
(ganti) anak itu dengan seekor sembelihan yang besar
Malaikat Jibril pun datang dengan membawa seekor domba
yang besar. Domba tersebut merupakan domba qurban Habil putra Nabi Adam yang
masih hidup dalam surge. Kemudian domba tersebut dijadikan tebusan atau ganti
Nabi Ismail. Malaikat Jibril yang datang dan melihat Nabi Ibrahim berusaha
memotong leher putra beliau. Dengan rasa ta’dhim (hormat) dan terheran atas
Nabi Ibrahim, Malaikat Jibril berkata :
الله اكبر الله اكبر الله اكبر
Allah Maha
Besar Allah Maha Besar Allah Maha Besar
Kemudian
Nabi Ibrahim menjawab :
لااله الا الله والله اكبر
Tidak ada tuhan
(yang hak untuk disembah) kecuali Allah, dan Allah Maha Besar
Nabi Ismail
pun mengikuti :
الله اكبر ولله الحمد
Allah Maha
Besar dan segala puji hanya bagi Allah
Allah telah mejadikan kebaikan atas kalimat-kalimat tersebut sehingga
kalimat-kalimat tersebut senantiasa berkumandang dalam celah-celah golongan
orang-orang muslim dikala tanggal 10 Dzul hijjah yaitu hari raya idul adha.
Imam Hanafi berkata bahwa jika seseorang bernadzar (berjanji pada diri sendiri)
untuk menyembelih anaknya, maka hendaklah ia menggantinya dengan seekor kambing
atau domba.
Kisah ini diambil dari Kitab Durrotun Nashihin
karangan Syekh Ustman bin Hasan bin Ahmad Asy-Syakiri Al-Khoubawi, Hal. 179-181